Minggu, 19 April 2015

KERUSAKAN PANGAN




KERUSAKAN  PANGAN


B
ahan makanan dianggap rusak apabila menunjukkan penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima oleh indera manusia. Kerusakan dapat ditandai oleh adanya perubahan dalam kenampakan, misalnya, bentuk atau warna, bau, rasa, tekstur, atau tanda-tanda penyimpangan lainnya. Kerusakan bahan pangan, tergantung dari jenis bahan pangan, dapat berlangsung secara lambat misalnya pada biji-bijian atau kacang-kacangan atau dapat berlangsung secara sangat cepat misalnya pada susu dan hati.

A.     JENIS dan PENYEBAB KERUSAKAN PANGAN
JENIS KERUSAKAN PANGAN
Winarno dan Jenie (1982) membedakan kerusakan bahan menurut penyebabnya, menjadi lima, yaitu:
1.      Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis adalah kerusakan yang disebabkan karena bahan mengalami benturan-benturan mekanis yang terjadi selama pemanenan, transportasi ataupun penyimpanan. Contohnya: Pada waktu dipanen buah yang jatuh atau membentur permukaan keras menjadi memar. Urbi-umbian yang terkena cangkul atau terpotong oleh alat pemanen, penumpukan bahan selama pengangkutan dan penyimpanan yang tidak memadai akan merusak bahan yang diletakkan pada bagian bawah.
2.      Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik adalah kerusakan bahan karena perlakuan-perlakuan fisik yang tidak tepat. Contohnya: Kerusakan warna dan tekstur pada daging yang dibekukan, tepung mengeras atau membatu karena penyimpanan pada tempat yang lembab.
3.      Kerusakan Fisiologis dan Biologis
Kerusakan fisiologis terjadi karena reaksi peruraian selama proses metabolisme yang terjadi secara alamiah dalam bahan. Contohnya: Pelunakan pada daging dan ikan setelah disembelih, pematangan buah dilanjutkan dengan kerusakan alamiah.

Kerusakan biologis biasanya disebabkan oleh aktivitas dari hewan, seperti ulat yang merusak buah atau sayur, tikus dan serangga yang merusak bahan-bahan makanan selama penyimpanan, dan sebagainya.
4.      Kerusakan Kimiawi
Kerusakan kimiawi adalah kerusakan yang terjadi karena reaksi kimia yang berlangsung di dalam bahan makanan.
Misalnya : Reaksi pencokelatan pada beberapa jenis buah dan sayur, seperti pisang, kentang, terong, dan apel, reaksi ketengikan minyak, dan sebagainya.
5.      Kerusakan Mikrobiologis
Kerusakan mokrobiologis adalah kerusakan makanan karena adanya aktivitas mikroorganisme, seperti bakteri, yeast, dan jamur yang mengkontaminasi makanan.
Kerusakan jenis ini  paling banyak ditemukan pada bahan makanan. Kerusakan jenis ini juga harus diwaspadai, karena ada kemungkinan bersama-sama dengan mikroorganisme perusak terdapat pula mikroorganisme penyebab penyakit dan peracunan.

PENYEBAB UTAMA KERUSAKAN PANGAN.
Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai  berikut :
  1. Pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, ragi dan kapang
  2. Aktivitas enzim-enzim di dalam bahan pangan
  3. Serangga, parasit dan tikus
  4. Suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan
  5. Kadar air
  6. Udara terutama oksigen
  7. Sinar
  8. Perlakuan fisik
  9. Jangka waktu penyimpanan

Disamping itu, faktor-faktor penyebab kerusakan pangan dapat juga dikelompokkan sebagai :
1.   Faktor internal adalah sifat-sifat yang terdapat pada pangan yang bersangkutan seperti kadar air, kadar gula, kadar garam, keasaman (pH) dan komposisi kimia.
2.   Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang mencakup suhu, kelembaban, cahaya, komposisi udara, cara penanganan, penyimpanan, serta distribusi.

B.     KERUSAKAN PANGAN OLEH MIKROORGANISME (Bakteri, Kapang/ Jamur, Khamir)

Mikroba penyebab kebusukan pangan dapat ditemukan dimana saja, baik di tanah, air, udara, di atas kulit atau bulu ternak dan di dalam usus. Beberapa mikroba juga ditemukan di atas permukaan kulit buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan kacang-kacangan. Mikroba seharusnya tidak ditemukan di dalam jaringan hidup misalnya daging hewan, daging buah atau air buah. Contoh misalnya  : 1) Susu yang berasal dari sapi yang sehat mula-mula steril ketika maíz di dalam kelenjar susu, tetapi setelah diperah akan mengalami kontaminasi dari udara, wadah atau dari si pemerah itu sendiri, 2) Daging sapi yang berasal dari sapi yang sehat juga akan mengalami kontaminasi segera setelah pemotongan, 3) Buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan kacang-kacangan akan mengalami kontaminasi setelah dikupas kulitnya, 4) Telur, bagian dalam dari telur sehat mula-mula adalah steril tetapi kulitnya banyak mengandung bakteri yang berasal dari kotoran ayam.
Bakteri mempunyai beberapa bentuk yang khas, misalnya :
1.   Bentuk Koki pada Steptococcus sp.,Micrococcus sp.,dan Sarcina sp.
2.   Bentuk Batang pada Basil
3.   Bentuk Spiral pada Spirilla dan Vibrios.

Bakteri yang terdapat dalam makanan mempunyai ukuran yang sangat kecil, yaitu sebagian besar mempunyai usuran panjang sel 1 sampai beberapa mikron (1 mikron = 1/1000 mm). Beberapa bakteri dapat membentuk spora yang lebih tahan terhadap pemanasan, pengaruh kimia dan pengaruh lain-lainnya. Spora bakteri ini   jauh lebih tahan daripada spora ragi atau kapang, dan lebih tahan terhadap pemanasan daripada enzim. Ragi mempunyai ukuran panjang sel 20 mikron atau lebih. Sebagian besar ragi berbentuk bulat atau lonjong. Jika dibandingkan dengan bakteri dan ragi, kapang berukuran lebih besar dan lebih kompleks. Beberapa kapang tumbuh seperti bulu atau rambut yang disebut “mycelia” dan pada unjungnya berbentuk seperti buah yang disebut conidia dan mengandung spora kapang.
Kapang mempunyai spora yang berwarna khas, misalnya berwarna hijau atau hitam pada roti busuk, berwarna merah jingga pada oncom, atau berwarna putih dan hitam pada tempe. Perbedaan warna ini disebabkan karena perbedaan warna conidia atau sporanya. Tumbuhnya bakteri, ragi atau kapang di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan.
Beberapa mikroba dapat menghasilkan enzim yang aktif yang dapat menghidrolisa pati. Disamping itu beberapa mikroba dapat menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisa selulosa atau dapat memfermentasi gula, sedangkan mikroba lainnya menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisa lemak yang mengakibatkan terjadinya ketengikan, atau merusak protein yang menghasilkan bau busuk. Beberapa mikroba tersebut dapat membentuk lendir, gas, busa, warna yang menyimpang, asam, racun dan lain-lainnya. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan dari udara, maka di dalam makanan tersebut terdapat pertumbuhan campuran dari beberapa jenis mikroba.
Bakteri, ragi dan kapang dapat tumbuh dengan baik pada keadaan yang hangat dan lembab. Beberapa bakteri mempunyai kisaran suhu pertumbuhan antara 45 – 550C yang disebut bakteri termofilik. Beberapa bakteri yang mempunyai kisaran suhu pertumbuhan antara 20 – 450C yang disebut bakteri mesofilik. Dan yang lainnya mempunyai suhu pertumbuhan di bawah 200C yang disebut bakteri psikrofilik. Spora dari kebanyakan bakteri dapat mempertahankan diri pada suhu air mendidih, dan pada suhu lebih rendah spora akan bergerminasi dan berkembang biak.
Beberapa bakteri dan semua kapang yang membutuhkan oksigen untuk tumbuh, disebut bakteri aerobik. Bakteri yang lain malahan tidak dapat tumbuh bila ada oksigen, bakteri demikian disebut bakteri anaerobik.
Dalam keadaan optimum bakteri memperbanyak diri dengan cepat. Dari   1 sel menjadi 2 hanya memerlukan waktu 20 menit dan seterusnya tumbuh berlipat ganda menurut fungsi eksponensial. Contoh misalnya : susu yang pada keadaan tertentu mengandung 100.000 bakteri per mililiter, jika dibiarkan pada suhu kamar selama 24 jam maka jumlah bakteri dapat menjadi 25 juta, dan dalam 96 jam dapat menjadi 5.000 juta tiap milliliter.
Faktor-faktor lingkungan hidup yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di antaranya air, kelembaban nisbi, suhu, pH, oksigen, mineral, dan lain-lain.

Bentuk-Bentuk  Kerusakan Bahan Pangan Oleh Mikroorganisme:
Ø Berjamur
Kapang bersifat aerobik, paling banyak atau terutama tumbuh pada bagian luar permukaan bahan pangan yang tercemar. Bahan pangan mungkin menjadi lengket, berbulu sebagai hasil produksi miselium dan spora kapang dan berwarna.
Ø Pembusukan (rots)
Pada umumnya diartikan sebagai pembusukan dari produk-produk dengan tekstur yang cukup baik seperti buah-buahan dan sayuran dimana pertumbuhan mikroorganisme merusak bagian-bagian struktur bahan pangan menjadi produk yang sangat lunak dan berair.
Ø Berlendir
Pertumbuhan bakteri pada permukaan yang basah seperti sayuran, daging dan ikan dapat menyebabkan flavor dan bau yang menyimpang serta pembusukan bahan pangan dengan pembentukan lender.
Ø Perubahan Warna
Beberapa mikroorganisme menghasilkan koloni-koloni yang berwarna atau mempunyai pigmen (zat warna) yang memberi warna pada bahan pangan yang tercemar (Serratia marcescens – merah; spesies Rhodotorulla – merah; Pseudomonas fluorescens – hijau dengan fluorescence; Aspergillus niger – hitam; Species Penicillium – hijau).
Ø Berlendir Kental Seperti Tali (ropiness)
Suatu lender kental (rope) yang berbentuk tali dalam bahan pangan disebabkan oleh berbagai spesies mikroorganisme seperti Leuconostoc mesenteroides, Leuconostoc dextranicum, Bacillus subtilis dan Lactobacillus plantarum. Pada beberapa bahan pangan pembentukan lender dikaitkan dengan pembentukan bahan kapsul oleh mikroorganisme, sedang pada beberapa bahan pangan lainnya dapat disebabkan oleh  hidrolisa dari zat pati dan protein untuk menghasilkan bahan bersifat lekat dan tidak berbentuk kapsul. Lendir tali ini dapat mencemari bahan-bahan pangan seperti minuman ringan, anggur, cuka, susu dan roti.
Ø Kerusakan Fermentatif
Beberapa tipe organisme terutama khamir, spesies Bacillus dan Clostridium dan bakteri asam laktat dapat memfermentasi karbohidrat. Khamir mengubah gula menjadi alkohol dan karbondioksida. Bakteri dapat mengubah gula menjadi asam laktat atau campuran asam-asam laktat, asetat, propionate, dan butirat, bersama-sama dengan hidrogen dan karbondioksida. Perubahan flavor dan pembentukan gas akhirnya terjadi dalam bahan pangan. 
Ø Pembusukan Bahan-bahan Berprotein (putrefraction)
Dekomposisi anaerobik dari protein menjadi peptide atau asam-asam amino, mengakibatkan bau busuk pada bahan pangan karena terbentuknya hidrogen sulfide, ammonia, methyl sulfide, amin dan senyawa-senyawa bau lainnya. Bahan pangan yang tercemar secara demikian adalah yang diolah kurang sempurna dan dikemas sehingga terbentuk kondisi anaerobic, seperti pengalengan daging dan sayuran yang diolah secara kurang sempurna.

C.  KERUSAKAN PANGAN OLEH SERANGGA, PARASIT dan HEWAN PENGERAT
Serangga terutama yang dapat merusak buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan umbi-umbian. Yang menjadi masalah bukan hanya jumlah pangan yang dimakan oleh serangga teersebut, tetapi yang lebih penting bahwa serangga tersebut akan melukai permukaan bahan pangan sehingga dapat menyebabkan kontaminasi oleh bakteri, ragi atau kapang.
Pada biji-bijian atau buah-buahan kering biasanya serangga dapat dicegah secara fumigasi dengan beberapa zat kimia seperti metal bromida, etilena oksida dan propilena oksida. Etilena dan propilena tidak boleh digunakan untuk bahan pangan yang mempunyai kadar air tinggi, karena kemungkinan dapat membentuk racun.
Telur-telur serangga dapat tertinggal di dalam makanan sebelum dan sesudah pengolahan, misalnya di dalam tepung. Untuk menghancurkan telur-telur serangga tersebut biasanya tepung dipusingkan di dalam sentrifuse, sehingga dengan benturan-benturan yang keras dari dinding sentrifuse, telur-telur tersebut akan pecah. Meskipun pecahan telur ini masih tetap tertinggal di dalam tepung, tetapi tidak dapat memperbanyak diri lebih lanjut.
Parasit yang lebih banyak ditemukan misalnya di dalam daging babi adalah cacing pita (Trichenella spiralis). Cacing pita tersebut masuk ke dalam tubuh babi melalui sisa-sisa makanan yang mereka makan. Daging babi yang tidak dimasak dapat menjadi sumber kontaminasi bagi manusia. Cacing-cacing dalam bahan pangan mungkin dapat dimatikan dengan pembekuan.
Tikus merupakan salah satu hewan pengerat dan merupakan persoalan yang penting di Indonesia, khususnya merupakan ancaman yang berbahaya baik terhadap hasil biji-bijian sebelum dipanen maupun terhadap bahan yang disimpan di dalam gudang. Tikus bukan hanya merugikan karena makan bahan, tetapi juga karena kotorannya, rambutnya atau air kencingnya dapat merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan dapat menimbulkan bau yang tidak enak.
 
D.  KERUSAKAN PANGAN oleh BAHAN KIMIA dan ENZIM
Enzim yang ada pada bahan pangan dapat berasal dari mikroba atau memang sudah ada pada bahan pangan tersebut secara normal. Adanya enzim memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimia dengan lebih cepat tergantung dari macam enzim yang ada, dan dapat mengakibatkan bermacam-macam perubahan pada komposisi bahan. Aktivitas enzim dapat dicegah atau dihentikan sama sekali oleh panas, perlakuan kimia, radiasi atau perlakuan lainnya.
Dipandang dari segi teknologi pangan, aktivitas enzima da yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Sebagai contoh pada pembuatan sari buah, beberapa enzim misalnya pektinase dikehendaki untuk menjernihkan sari buah seperti sari buah apel. Contoh lain adalah penggunaan enzim papain (proteinase) untuk mengempukkan daging.
Keaktifan maksimum dari enzim pada umumnya terletak di antara pH 4 – 8, atau di sekitar pH 6. Tetapi meskipun demikian beberapa enzim misalnya pepsin masih menunjukkan keaktifannya sampai pH 2, dan enzim fosfatase alkalis di dalam darah aktif sampai pH 9. Jika makanan disterilkan atau dipasteurisasi untuk mengaktifkan mikroba, maka enzim akan sebagian atau seluruhnya rusak atau menjadi inaktif. Juga jika makanan didinginkan dengan tujuan untuk mengurangi aktivitas mikroba, maka keaktifan enzim-enzim di dalamnya juga akan terhambat.
Beberapa enzim mungkin lebih tahan terhadap pemanasan atau radiasi mungkin efektif untuk membunuh mikroba, tetapi enzim-enzim tertentu mungkin masih dapat aktif.

                 Beberapa Contoh Enzim dengan Substrat, Hasil akhir dan pH optimum +)
Enzim
Substrat
Hasil Akhir
pH Optimum ++)

Lipase

Fosfatase (lechithinase)

Invertase

Maltase

Selobiase

Laktase

Amilase

Selulase

Proteinase
(Bromelin,Papain,
Pepsin,Tripsin,rennin)

Peptidase
(Polipeptidase)

Urease

Asparaginase

Deaminase

Gliserida (lemak)

Lecithin


Sukrosa

Maltosa

Selobiosa

Laktosa

Pati

Selulosa

Protein



Protein
(Peptida)

Urea

Asparagin

Asam amino

Gliserol, asam lemak

Choline, H3PO4, lemak


Glukosa, Fruktosa

Glukosa

Glukosa

Glukosa, Galaktosa

Dekstrin, Maltosa

Selobiosa, Glukosa

Polipeptida, Dipeptida



Asam amino


CO2, NH3

Asam aspartat, NH3

NH3, Asam organik

5,0    8,6

3,0 – 10,0


4,6 – 5,0

4,5 – 7,2

-

-

5,0 – 7,0

3,5

1,5 – 10,0



6,0 – 7,4


7,0

-

-

  +)    POTTER (1968)
++)    DESROSIER  (1963)


E.  KERUSAKAN PANGAN OLEH SUHU, KELEMBABAN dan UDARA (Oksigen)
Pemanasan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan protein (denaturasi), emulsi vitamin dan lemak. Buah dan saturan tropika Sangat sensitif terhadap pendinginan. Penyimpanan pada suhu rendah akan menyebabkan kerusakan yang disebut chiling injury, misalnya pisang ambon yang menjadi lunak dan warnanya berubah. Selain itu, juga menyebabkan denaturasi dan pengumpalan protein susu. Oksigen selain dapat merusak vitamin A dan C, warna bahan pangan, cita rasa dan zat kandungan lain, juga penting untuk pertumbuhan kapang.
Pada umumnya kapang bersifat aerobik, oleh karena itu sering ditemukan tumbuh di atas permukaan bahan pangan. Oksigen udara dapat dikurangi jumlahnya dengan cara mengisap udara keluar dari wadah secara vakum atau menggantikan dengan gas “inert” selama pengolahan misalnya mengganti udara dengan gas nitrogen (N2) atau CO2, atau dengan mengikat molekul oksigen dengan pereaksi kimia. Pada bahan pangan yang mengandung lemak adanya oksigen dapat menyebabkan ketengikan.

F.  KERUSAKAN PANGAN oleh SEBAB - SEBAB MEKANIK/ FISIK
Perlakuan yang tidak tepat selama penanganan, penyimpanan dan distribusi menyebabkan kerusakan fisik dan memperpendek masa simpan bahan pangan. Memar yang terjadi pada buah dan sayur segar mempercepat kebusukan. Buah dan sayur segar mengalami pengeringan (penguapan air) jika disimpan pada kelembaban rendah sehingga hilang kesegarannya. Bahan pangan kering seperti tepung, gula, garam, dsb menjadi basah jika disimpan di tempat yang lembab.  Daging yang disimpan beku dapat mengalami dehidrasi pada permukaannya pada permukaannya  jira tidak dikemas dengan baik. Telur mengalami kehilangan berat selama penyimpanan pada kelembaban rendah.
Usaha untuk mencegah atau menghambat kerusakan fisik antara lain perlakuan dengan baik, penggunaan kemasan yang rigid dan kuat, tidak permeable terhadap air, pengisian kemasan dengan gas inert atau penyimpanan pada suhu dan kelembaban yang tepat.

G. PARAMETER PENILAIAN KERUSAKAN BAHAN PANGAN
1.    Organoleptik
Ø  Perubahan warna, aroma, rasa, dan tekstur.
2.    Kimiawi
Ø  Degradasi/ oksidasi/ hidrolisis komponen penyusun bahan makanan.
3.    Mikrobiologis
Ø  Kontaminasi oleh mikroorganisme patogen
Ø  Pertumbuhan mikroorganisme alami yang melebihi ambang batas
4.    Fisis
Ø  Perubahan pH

 H.  TANDA-TANDA KERUSAKAN PANGAN
Setiap bahan makanan yang mengalami kerusakan, terutama kerusakan mikrobiologis akan memberikan tanda-tanda yang khas menurut jenis bahannya. Meskipun demikian terdapat tanda-tanda umum yang mencirikan perubahan komponen utama penyusun bahan. Dengan demikian, bahan makanan yang tinggi kandungan proteinnya akan memiliki tanda kerusakan yang berbeda dengan bahan makanan yang tinggi kandungan lemak atau karbohidratnya.
1    Kerusakan Bahan Makanan Berprotein Tinggi
à    Bahan makanan yang banyak mengandung protein apabila mengalami kerusakan mikrobiologis akan menghasilkan bau busuk khas protein, yang dikenal sebagai bau putrid, sehingga kerusakannya sering disebut sebagai kerusakan putrefaktif (Kuswanto, 1987).
à  Mikrobia yang paling berperan dalam menyebabkan kerusakan makanan berprotein adalah bakteri. Bakteri-bakteri tersebut mampu memecah protein menjadi senyawa-senyawa sederhana seperti cadaverin, putrescin, skatol, H2S, dan NH3, yang menyebabkan bau busuk.
à  Selain bau busuk, makanan tinggi protein seperti daging, telur, susu dan ikan yang rusak juga menunjukkan rasa tidak enak.
à Tanda lainnya dapat berupa penggumpalan protein (khususnya pada susu), dan pencairan jaringan protein sehingga bahan berair. Bahan biasanya juga mengalami kerusakan struktur jeringan sehingga menjadi lembek.
2    Kerusakan Bahan Makanan Berkarbohidrat Tinggi
à  Bahan makanan berkarbohidrat tinggi dapat mengalami perubahan kimiawi karena aktivitas yeast, bakteri maupun jamur. Dengan demikian, tanda-tanda kerusakannya ditentukan pula oleh jenis mikroorganisme perusaknya.
à   Yeast dapat memfermentasi karbohidrat, terutama glucosa, menjadi alkohol. Dengan demikian, bahan makanan berkarbohidrat tinggi yang dirusak yeast akan menimbulkan bau dan rasa khas alcohol.
à   Bakteri dari jenis anaerob, seperti Lactobacillus sp dapat membentuk asam laktat dan propionat dari bahan berkarbohidrat. Sedangkan dalam kondisi aerob, beberapa bakteri mampu mengubah alcohol yang dibentuk yeast, menjadi asam asetat. Dengan demikian, kerusakan bahan makanan berkarbohidrat dapat pula diketahui dari terbentuknya rasa dan bau asam.
à  Berbagai jenis Namur dan bakteri yang mengkontaminasi bahan makanan berkarbohidrat biasanya memproduksi enzim yang mampu memecah polisakarida menjadi karbohidrat rantai pendek seperti monosakarida maupun disakarida. Hal ini secara fisik dapat ditandai dari terjadinya pelunakan struktur bahan makanan berkarbohidrat tinggi.
à Beberapa bakteri juga mampu memproduksi karbohidrat khas, yang secara alami bukan merupakan penyusun bahan makanan. Karbohidrat yang dihasilkan oleh bakteri ini umumnya berupa levan atau dekstran, yang memiliki tekstur kental seperti kanji. Dengan demikian, kerusakan bahan makanan berkarbohidrat dapat diketahui oleh adanya pembentukan lendir.
3    Kerusakan Bahan Makanan Berlemak Tinggi
à  Lemak dan minyak dapat mengalami pemecahan menjadi asam lemak dan gliserol. Selanjutnya asam lemak, terutama asam lemak tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap, dapat mengalami pemecahan lebih lanjut menjadi senyawa sederhana seperti aldehid dan keton dan senyawa lain yang menimbulkan bau tengik.
à    Berbagi jamur, yeast, dan bakteri diketahui mampu memecah lemak ini, dan dengan demikian, berpotensi untuk menimbulkan ketengikan pada bahan makanan berlemak.
à  Proses terjadinya kerusakan makanan karena aktivitas mikrobia tersebut biasanya terjadi secara simultan dan bersama-sama. Hal ini disebabkan karena dalam bahan makanan biasanya sekaligus terkandung protein, karbohidrat, dan lemak. Oleh karena itu tanda-tanda kerusakannya biasanya bermacam-macam.

Beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk mengenali kerusakan berbagai bahan makanan, antara lain :
a.   Makanan Kaleng
Tanda-tanda kerusakan makanan kaleng antara lain adanya penggembungan pada bagian dasar dan atau tutup kaleng karena terbentuknya gas di dalam kaleng, penyok pada bagian sepanjang sambungan kaleng, penyimpangan bau, terbentuk buih, atau cairan pengisi kaleng menjadi kental.
b.   Ikan
Ikan yang rusak biasanya ditandai dengan adanya penyimpangan bau, berupa timbulnya bau asam ataupun bau busuk, insang berwarna abu-abu atau kehijauan, mata tenggelam, dagingnya mudah dilepaskan dari tulang, serta jika ditekan dengan jari akan meninggalkan bekas.

c.   Daging
Kerusakan daging ditandai terbentuknya bau asing yang bukan khas daging, terbentuknya lendir, dan terkadang terjadi perubahan warna menjadi kehijauan.
d.   Ayam
Daging ayam yang rusak dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada bagian tertentu dari karkas ayam. Tanda tersebut antara lain lengket pada bagia bawah sayap, pada pertautan antara kaki dan tubuh, serta bagian atas ekor. Tanda lain adalah terbentuknya warna gelap pada bagian ujung sayap.
e.   Susu
Kerusakan susu ditandai dengan terciumnya bau dan rasa asam karena aktivitas bakteri pembentuk asam laktat, terbentuk lendir, yaitu jika susu disentuh dengan jari dan kemudian diangkat akan tampak seperti benang. Tanda kerusakan lainnya adalah terbentuknya bau tengik, bau ragi, pahit, busuk, dan terkadang terjadi perubahan warna menjadi kemerahan.
f.    Udang Mentah
Udang telah hilang kesegarannya dan menjadi rusak apabila pada daerah dekat ekor berwarna merah mudah (pink), dan muncul bau asing menyerupai amonia.

I.    PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP MUTU GIZI PANGAN

Karbohidrat
Anti-amilase adalah suatu protein yang terdapat di dalam kacang-kacangan, yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas enzim amilase untuk menghidrolisis pati menjadi glukosa. Pengolahan pangan dengan menggunakan panas, misalnya perebusan atau pengukusan kacang-kacangan dapat mendenaturasi protein termasuk anti-amilase tersebut sehingga daya cerna pati meningkat. Tanin atau senyawa polifenol lain dapat juga menghambat aktivitas enzim amilase. Itulah sebabnya daya cerna pati sagu (yang banyak mengandung tanin) lebih rendah dibandingkan dengan pati tapioka. Tanin tidak dapat dihancurkan dengan pemanasan, tetapi karena bersifat larut air maka pengurangan kadar tanin dapat dilakukan dengan melakukan pencucian secara berulang-ulang.
Proses pemanasan juga menyebabkan pati tergelatinasi, yaitu molekulnya menjadi pengembang dan kemudian menyerap air. Pati yang sudah tergelatinasi daya cerna lebih tinggi dibandingkan dengan pati aslinya. Sebagai contoh, daya cerna pati beras lebih rendah dibandingkan dengan pati yang terdapat dalam nasi.
Kecenderungan sekarang dalam pengolahan pati (gabah) menjadi beras atau gandum menjadi terigu, adalah diinginkan produk jadinya berwarna putih bersih. Meskipun secara organoleptik hal ini menguntungkan, tetapi dari segi gizi hal ini merugikan. Proses penyosohan yang berlebihan pada kedua bahan pangan tersebut menyebabkan banyak serat, vitamin dan mineral menjadi terbuang. Sebagai ilustrasi, sesungguhnya nilai gizi beras putih (beras sosoh) lebih rendah dibandingkan dengan beras pecah putih (beras PK), akan tetapi karena faktor organoleptik dalam hal ini lebih dipentingkan, maka nilai gizi bahan menjadi diabaikan.
Sejak diketahui bahwa serat pangan memberikan keuntungan dalam pencegahan timbulnya berbagai penyakit, maka orang berlomba untuk mengkonsumsi lebih banyak serat. Contoh (sekarang menjadi mode) adalah dijualnya tablet atau kapsul serta pembuatan roti atau biskuit whole wheat dari tepung terigu yang disuplementasi dengan dadak gandum.

Protein
Selama pengolahan, protein yang terkandung dalam bahan pangan akan mengalami berbagai macam perlakuan. Misalnya perlakuan fisik, contohnya penghancuran dan pemanasan, perlakuan kimia, penggunaan pelarut organik (untuk ekstrak lemak), bahan pengoksidasi (hidrogen peroksida), alkali (NaOH, untuk ekstraksi protein atau perbaikan sifat fungsional protein), belerang dioksida (anti-browning, pengawet), atau mengalami perlakuan biologis, misalnya hidrolisis secara enzimatis (hidrolisat protein) atau proses fermentasi (tempe kedelai, keju). Meskipun demikian, yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan panas, misalnya pemaskan, sterilisasi komersial (pengalengan), pengeringan atau pemanggangan dan pembakaran.
Raksi-reaksi yang mungkin timbul selama pengolahan, terjadi antara protein dengan zat-zat gizi lain (karbohidrat, lemak, vitamin, mineral) atau dengan bahan tambahan (food addivites). Rekasi-reaksi tersebut umumnya menguntungkan secara organoleptik, misalnya karena aroma yang timbul, terjadinya perubahan warna, atau karena cita rasa yang lebih enak. Akan tetapi tidak jarang yang terjadi adalah reaksi-reaksi yang merugikan ditinjau dari segi gizi, misalnya mengakibatkan daya cerna protein menurun, atau ketersediaan asam-asam amino esensial menjadi rendah, bahkan kadang-kadang hasil reaksi tersebut berupa senyawa yang bersifat toksik atau menimbulkan pengaruh fisiologis yang merugikan bagi tubuh.
Protein adalah komponen pangan yang sangat kratif. Sisi rantai yang berupa asam-asam amino yang terikat dalam protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi (reaksi browning non-enzimatis), polifenol (tannin), senyawa hasil oksidasi lemak, serta kadang-kadang dengan bahan yang ditambahkan, misalnya alkali yang dapat menyebabkan terjadinya raseminasi asam amino dan terbentuknya lisinolalanin.
Lisin, triptopfan, metionin dan sistein adalah asam-asam amino yang paling reaktif dalam rantai protein. Padahal asam-asam amino tersebut tergolong esensial (setengah esencial bagi sistein), dan seringkali merupakan asam amino pembatas (kadarnya paling rendah dibandingkan dengan protein estándar/referensi). Selama pengolahan, asam-asam amino tersebut bereaksi dengan senyawa-senyawa lain membentuk senyawa kompleks kovalen, atau dalam hal triptofan, metionin dan sistein, asam-asam amino tersebut dapat juga mengalami kerusakan karena teroksidasi.
Modifikasi sifat-sifat kimia protein bahan pangan akan mengakibatkan perubahan nilai gizinya, misalnya menurunnya daya cerna protein atau menurunnya ketersediaan asam-asam amino esencial. Prodek hasil interaksi asam-asam amino kadang-kadang juga menimbulkan pengaruh fisiologis yang merugikan bagi tubuh.
Pengolahan protein dengan alkali juga dapat menyebabkan terbentuknya lisinolalanin. Lisinolalanin adalah senyawa yang terdiri dari residu lisin yang grup épsilon aminonya terikat pada grup metil residu alanin, yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara sistein atau seri dengan lisin. Bila residu tersebut terdapat dalam rantai protein, maka akan terbentuk ikatan menyilang intra-molekuler atau antar molekuler protein. Lisinolalanin bukan merupakan dipeptida, karena tidak mempunyai ikatan péptida dan juga bila dihidrolisis dengan asam tidak menghasilkan dua asam amino. Terdapat empat stereo-isomer lisinolalanin yang mungkin terjadi, yaitu : LL, LD, DL dan DD.
Lemak yang teroksidasi akan menghasilkan radikal-radikal bebas (terutama berasal dari asam lemak tidak jenuh), yang kemudian membentuk senyawa karbonil atau hidroperoksida. Kedua macam senyawa tersebut dapat bereaksi dengan protein membentuk ikatan menyilang (cross linkage) dalam rantai protein, melalui ikatan protein-lipid. Penurunan nilai gizi protein akibat reaksi tersebut dapat terjadi karena penurunan daya cerna protein dan kerusakan pada asam-asam amino esensial.

 Lemak
Lemak atau minyak dapat mengalami kerusakan akibat reaksi: a) hidrolisis, yaitu pelepasan asam-asam lemak dari molekul lemak yang dapat diakibatkan oleh air atr, asam atau enzim lipase, sehingga akan mengakibatkan terjadinya ketengikan hidrilitik, 2) oksidasi, yaitu terpecahnya asam-asam lemak tidak jenuh oleh oksiden atau sinar ultra violet, sehingga akan mengakibatkan terjadinya ketengikan oksidatif, 3) polimerisasi, yaitu pelepasan asam-asam lemak dari molekul lemak, yang diikuti oleh bergabungnya asam-asam lemak tersebut (berpolimerasi) membentuk rantai yang lebih kompleks. Polimerisasi minyak/lemak dapat terjadi pada proses pemanasan lemak/minyak pada suhu tinggi dan jangka waktu yang lama, misalnya pada proses penggorengan. Semua kerusakan tersebut akan menurunkan nilai gizi lemak/minyak. Baik oleh daya cernanya yang menurun atau karena ketersediaan asam-asam lemak (esensial) yang berkurang atau akibat keduanya.
Ketengikan hidrolitik dapat dicegah dengan cara inaktivasi enzim lipase (misalnya dengan pemanasan) dan mengurangi kadar air bahan (misalnya dengan cara pengeringan) serta mencegah masuknya kembali uap air ke dalam bahan pangan yang telah kering (misalnya dengan pengemasan yang tertutup rapat). Ketengikan oksidatif dapat dicegah dengan mengurangi kontak antar bahan dengan oksigen (misalnya dengan pengemasan hampa udara) serat menghindarkan bahan dari tekanan sinar matahari atau sumber sinar ultra violet lainnya (misalnya selama dipajang di etalase). Polimerisasi lemak/minyak selama pemanasan pada suhu tinggi (proses penggorengan) dapat dicegah dengan mengatur suhu dan lama penggorengan serta jumlah dan interval penambahan minyak yang baru. Penggorengan minyak yang telah rusak (tengik) untuk menggoreng, ternyata dapat menurunkan nilai gizi protein.
Minyak/lemak adalah juga pelarut bagi vitamin-vitamin larut lemak (A,D,E, dan K), termasuk pro vitamin A (karoten). Oksidasi oleh oksigen maupun akibat pemanasan (misalnya penggorengan) akan merusak vitamin A, vitamin E, dan karoten. Umumnya margarin diperkaya (disuplementasi) dengan vitamin A atau beta-karoten untuk meningkatkan nilai gizinya. Akan tetapi penanganan margarin yang tidak benar (misalnya adanya kontak dengan oksigen, terkena sinar matahari) akan merusak vitamin A dan beta-karoten tersebut.

 Vitamin Dan Mineral
Dalam pengolahan pangan, kerusakan vitamin dapat terjadi akibat pengaruh pH, oksigen, pemanasan atau karena terkena cahaya.
Proses pasteurisasi HTST (high temperature short time) terhadap susu lebih dapat mempertahankan kandungan thiamin, vitamin C dan vitamin B12 dibandingkan dengan proses pasteurisasi konvensional (holding method). Demikian juga proses sterilisasi UHT (ultra high temperature) lebih dapat mempertahankan kadar vitamin dalam susu dibandingkan dengan proses sterilisasi susu dalam botol. Hal ini penting diperhatikan dalam mempersiapkan produk olahan susu bagi bayi atau anak kecil.
Dalam proses pengalengan makanan ternyata bahwa jumlah vitamin yang hilang selama keseluruhan proses cukup tinggi, yaitu berkisar antara 0-91%.  Dalam hal ini, proses sterilisasi HTST (high temperature short time) lebih dapat mempertahankan vitamin dibandingkan dengan metode LTLT (low temperatura long time). Disamping itu, médium asam (pH rendah) lebih dapat mempertahankan vitamin dibandingkan dengan médium alkalis.
Mineral umumnya tidak mengalami kerusakan selama pengolahan pangan, yang mungkin terjadi adalah pengurangan kadarnya atau penurunan ketersediaannya. Penurunan kadar mineral biasanya terjadi akibat pelarutan (leaching), misalnya pada proses blanching sayuran atau buah-buahan sebelum dikalengkan, dibekukan atau dikeringkan. Hal ini sedikit dapat dicegah dengan cara melakukan blanching menggunakan uap air. Selain itu, pelarutan mineral dapat juga terjadi selama proses perebusan.
Penurunan ketersediaan mineral dapat terjadi karena terbentuknya ikatan antara mineral dengan senyawa lain, misalnya protein, tannin, asam fitat, asam oksalat dan lain-lain. Proses kedelai ditemukan dapat mengikat mineral (zat besi), sehingga dapat menurunkan ketersediaannya. Tannin dan asam oksalat banyak terdapat dalam bahan pangan nabati. Tannin merupakan senyawa yang stabil selama pengolahan, tetapi bersifat larut dalam air, sehingga kadarnya sedikit dapat dikurangi dengan proses pencucian. Asam oksalat hanya dapat dilarutkan dalam larutan asam, sehingga menurunkan kadarnya hanya dapat dilakukan dengan cara perendaman atau pencucian bahan pangan dalam larutan asam.
Proses fermentasi, misalnya pada pembuatan roti atau tempe dapat menurunkan kadar asam fitat, karena mikroba yang berperan dalam proses fermentasi tersebut dapat menghasilkan enzim fitase.

 

-SEKIAN-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar