KERUSAKAN PANGAN
B
|
ahan makanan dianggap rusak apabila menunjukkan
penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima oleh indera manusia. Kerusakan
dapat ditandai oleh adanya perubahan dalam kenampakan, misalnya, bentuk atau
warna, bau, rasa, tekstur, atau tanda-tanda penyimpangan lainnya. Kerusakan
bahan pangan, tergantung dari jenis bahan pangan, dapat berlangsung secara
lambat misalnya pada biji-bijian atau kacang-kacangan atau dapat berlangsung
secara sangat cepat misalnya pada susu dan hati.
A.
JENIS dan PENYEBAB KERUSAKAN PANGAN
JENIS
KERUSAKAN PANGAN
Winarno dan Jenie (1982) membedakan kerusakan bahan
menurut penyebabnya, menjadi lima, yaitu:
1.
Kerusakan
Mekanis
Kerusakan mekanis adalah
kerusakan yang disebabkan karena bahan mengalami benturan-benturan mekanis yang
terjadi selama pemanenan, transportasi ataupun penyimpanan. Contohnya: Pada
waktu dipanen buah yang jatuh atau membentur permukaan keras menjadi memar.
Urbi-umbian yang terkena cangkul atau terpotong oleh alat pemanen, penumpukan
bahan selama pengangkutan dan penyimpanan yang tidak memadai akan merusak bahan
yang diletakkan pada bagian bawah.
2.
Kerusakan
Fisik
Kerusakan fisik adalah kerusakan
bahan karena perlakuan-perlakuan fisik yang tidak tepat. Contohnya: Kerusakan
warna dan tekstur pada daging yang dibekukan, tepung mengeras atau membatu
karena penyimpanan pada tempat yang lembab.
3.
Kerusakan
Fisiologis dan Biologis
Kerusakan fisiologis terjadi
karena reaksi peruraian selama proses metabolisme yang terjadi secara alamiah
dalam bahan. Contohnya: Pelunakan pada daging dan ikan setelah disembelih,
pematangan buah dilanjutkan dengan kerusakan alamiah.
Kerusakan biologis biasanya
disebabkan oleh aktivitas dari hewan, seperti ulat yang merusak buah atau
sayur, tikus dan serangga yang merusak bahan-bahan makanan selama penyimpanan,
dan sebagainya.
4.
Kerusakan
Kimiawi
Kerusakan kimiawi adalah
kerusakan yang terjadi karena reaksi kimia yang berlangsung di dalam bahan
makanan.
Misalnya : Reaksi pencokelatan
pada beberapa jenis buah dan sayur, seperti pisang, kentang, terong, dan apel,
reaksi ketengikan minyak, dan sebagainya.
5.
Kerusakan
Mikrobiologis
Kerusakan mokrobiologis adalah
kerusakan makanan karena adanya aktivitas mikroorganisme, seperti bakteri,
yeast, dan jamur yang mengkontaminasi makanan.
Kerusakan jenis ini paling banyak ditemukan pada bahan makanan.
Kerusakan jenis ini juga harus diwaspadai, karena ada kemungkinan bersama-sama
dengan mikroorganisme perusak terdapat pula mikroorganisme penyebab penyakit
dan peracunan.
PENYEBAB
UTAMA KERUSAKAN PANGAN.
Kerusakan
bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
- Pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, ragi dan kapang
- Aktivitas enzim-enzim di dalam bahan pangan
- Serangga, parasit dan tikus
- Suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan
- Kadar air
- Udara terutama oksigen
- Sinar
- Perlakuan fisik
- Jangka waktu penyimpanan
Disamping itu, faktor-faktor penyebab kerusakan
pangan dapat juga dikelompokkan sebagai :
1.
Faktor
internal adalah sifat-sifat yang terdapat pada pangan yang bersangkutan seperti
kadar air, kadar gula, kadar garam, keasaman (pH) dan komposisi kimia.
2.
Faktor
eksternal adalah faktor lingkungan yang mencakup suhu, kelembaban, cahaya,
komposisi udara, cara penanganan, penyimpanan, serta distribusi.
B.
KERUSAKAN PANGAN OLEH
MIKROORGANISME (Bakteri, Kapang/ Jamur, Khamir)
Mikroba
penyebab kebusukan pangan dapat ditemukan dimana saja, baik di tanah, air,
udara, di atas kulit atau bulu ternak dan di dalam usus. Beberapa mikroba juga
ditemukan di atas permukaan kulit buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan
kacang-kacangan. Mikroba seharusnya tidak ditemukan di dalam jaringan hidup
misalnya daging hewan, daging buah atau air buah. Contoh misalnya : 1) Susu yang berasal dari sapi yang sehat
mula-mula steril ketika maíz di dalam kelenjar susu, tetapi setelah diperah
akan mengalami kontaminasi dari udara, wadah atau dari si pemerah itu sendiri,
2) Daging sapi yang
berasal dari sapi yang sehat juga akan mengalami kontaminasi segera setelah
pemotongan, 3) Buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan kacang-kacangan akan
mengalami kontaminasi setelah dikupas kulitnya, 4) Telur, bagian dalam dari
telur sehat mula-mula adalah steril tetapi kulitnya banyak mengandung bakteri
yang berasal dari kotoran ayam.
Bakteri mempunyai beberapa bentuk yang khas,
misalnya :
1. Bentuk Koki
pada Steptococcus sp.,Micrococcus sp.,dan Sarcina sp.
2.
Bentuk
Batang pada Basil
3.
Bentuk
Spiral pada Spirilla dan Vibrios.
Bakteri yang terdapat dalam
makanan mempunyai ukuran yang sangat kecil, yaitu sebagian besar mempunyai
usuran panjang sel 1 sampai beberapa mikron (1 mikron = 1/1000 mm). Beberapa
bakteri dapat membentuk spora yang lebih tahan terhadap pemanasan, pengaruh
kimia dan pengaruh lain-lainnya. Spora bakteri ini jauh lebih tahan daripada spora ragi atau
kapang, dan lebih tahan terhadap pemanasan daripada enzim. Ragi mempunyai
ukuran panjang sel 20 mikron atau lebih. Sebagian besar ragi berbentuk bulat
atau lonjong. Jika dibandingkan dengan bakteri dan ragi, kapang berukuran lebih
besar dan lebih kompleks. Beberapa kapang tumbuh seperti bulu atau rambut yang
disebut “mycelia” dan pada unjungnya berbentuk seperti buah yang disebut
conidia dan mengandung spora kapang.
Kapang mempunyai spora yang
berwarna khas, misalnya berwarna hijau atau hitam pada roti busuk, berwarna
merah jingga pada oncom, atau berwarna putih dan hitam pada tempe. Perbedaan
warna ini disebabkan karena perbedaan warna conidia atau sporanya. Tumbuhnya
bakteri, ragi atau kapang di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan
pangan.
Beberapa mikroba dapat
menghasilkan enzim yang aktif yang dapat menghidrolisa pati. Disamping itu beberapa mikroba dapat menghasilkan enzim yang
dapat menghidrolisa selulosa atau
dapat memfermentasi gula, sedangkan mikroba lainnya menghasilkan enzim yang
dapat menghidrolisa lemak yang
mengakibatkan terjadinya ketengikan, atau merusak protein yang menghasilkan bau
busuk. Beberapa
mikroba tersebut dapat membentuk lendir, gas, busa, warna yang menyimpang,
asam, racun dan lain-lainnya. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan dari udara, maka
di dalam makanan tersebut terdapat pertumbuhan campuran dari beberapa jenis
mikroba.
Bakteri, ragi dan kapang dapat
tumbuh dengan baik pada keadaan yang hangat dan lembab. Beberapa bakteri
mempunyai kisaran suhu pertumbuhan antara 45 – 550C yang disebut
bakteri termofilik. Beberapa bakteri
yang mempunyai kisaran suhu pertumbuhan antara 20 – 450C yang
disebut bakteri mesofilik. Dan yang
lainnya mempunyai suhu pertumbuhan di bawah 200C yang disebut
bakteri psikrofilik. Spora dari
kebanyakan bakteri dapat mempertahankan diri pada suhu air mendidih, dan pada
suhu lebih rendah spora akan bergerminasi dan berkembang biak.
Beberapa bakteri dan semua
kapang yang membutuhkan oksigen untuk tumbuh, disebut bakteri aerobik. Bakteri yang lain malahan
tidak dapat tumbuh bila ada oksigen, bakteri demikian disebut bakteri anaerobik.
Dalam
keadaan optimum bakteri memperbanyak diri dengan cepat. Dari 1 sel
menjadi 2 hanya memerlukan waktu 20 menit dan seterusnya tumbuh berlipat ganda
menurut fungsi eksponensial. Contoh
misalnya : susu yang pada keadaan tertentu mengandung 100.000 bakteri per
mililiter, jika dibiarkan pada suhu kamar selama 24 jam maka jumlah bakteri
dapat menjadi 25 juta, dan dalam 96 jam dapat menjadi 5.000 juta tiap
milliliter.
Faktor-faktor
lingkungan hidup yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di antaranya air,
kelembaban nisbi, suhu, pH, oksigen, mineral, dan lain-lain.
Bentuk-Bentuk Kerusakan Bahan Pangan Oleh Mikroorganisme:
Ø Berjamur
Kapang
bersifat aerobik, paling banyak atau terutama tumbuh pada bagian luar permukaan
bahan pangan yang tercemar. Bahan pangan mungkin menjadi lengket, berbulu
sebagai hasil produksi miselium dan spora kapang dan berwarna.
Ø Pembusukan
(rots)
Pada
umumnya diartikan sebagai pembusukan dari produk-produk dengan tekstur yang
cukup baik seperti buah-buahan dan sayuran dimana pertumbuhan mikroorganisme
merusak bagian-bagian struktur bahan pangan menjadi produk yang sangat lunak
dan berair.
Ø Berlendir
Pertumbuhan
bakteri pada permukaan yang basah seperti sayuran, daging dan ikan dapat
menyebabkan flavor dan bau yang menyimpang serta pembusukan bahan pangan dengan
pembentukan lender.
Ø Perubahan
Warna
Beberapa
mikroorganisme menghasilkan koloni-koloni yang berwarna atau mempunyai pigmen
(zat warna) yang memberi warna pada bahan pangan yang tercemar (Serratia marcescens – merah; spesies Rhodotorulla – merah; Pseudomonas fluorescens – hijau dengan fluorescence; Aspergillus niger – hitam; Species
Penicillium – hijau).
Ø Berlendir
Kental Seperti Tali (ropiness)
Suatu
lender kental (rope) yang berbentuk
tali dalam bahan pangan disebabkan oleh berbagai spesies mikroorganisme seperti
Leuconostoc mesenteroides, Leuconostoc
dextranicum, Bacillus subtilis dan
Lactobacillus plantarum. Pada beberapa bahan pangan pembentukan lender
dikaitkan dengan pembentukan bahan kapsul oleh mikroorganisme, sedang pada
beberapa bahan pangan lainnya dapat disebabkan oleh hidrolisa dari zat pati dan protein untuk
menghasilkan bahan bersifat lekat dan tidak berbentuk kapsul. Lendir tali ini
dapat mencemari bahan-bahan pangan seperti minuman ringan, anggur, cuka, susu
dan roti.
Ø Kerusakan
Fermentatif
Beberapa
tipe organisme terutama khamir, spesies Bacillus
dan Clostridium dan bakteri asam
laktat dapat memfermentasi karbohidrat. Khamir
mengubah gula menjadi alkohol dan karbondioksida. Bakteri dapat mengubah gula menjadi asam laktat atau campuran asam-asam laktat, asetat, propionate, dan
butirat, bersama-sama dengan hidrogen dan karbondioksida. Perubahan flavor
dan pembentukan gas akhirnya terjadi dalam bahan pangan.
Ø Pembusukan
Bahan-bahan Berprotein (putrefraction)
Dekomposisi
anaerobik dari protein menjadi peptide atau asam-asam amino, mengakibatkan bau
busuk pada bahan pangan karena terbentuknya hidrogen sulfide, ammonia, methyl
sulfide, amin dan senyawa-senyawa bau lainnya. Bahan pangan yang tercemar
secara demikian adalah yang diolah kurang sempurna dan dikemas sehingga
terbentuk kondisi anaerobic, seperti pengalengan daging dan sayuran yang diolah
secara kurang sempurna.
C. KERUSAKAN PANGAN OLEH SERANGGA, PARASIT dan HEWAN
PENGERAT
Serangga
terutama yang dapat merusak buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan
umbi-umbian. Yang menjadi masalah
bukan hanya jumlah pangan yang dimakan oleh serangga teersebut, tetapi yang
lebih penting bahwa serangga tersebut akan melukai permukaan bahan pangan
sehingga dapat menyebabkan kontaminasi oleh bakteri, ragi atau kapang.
Pada biji-bijian atau
buah-buahan kering biasanya serangga dapat dicegah secara fumigasi dengan beberapa zat kimia seperti metal bromida, etilena
oksida dan propilena oksida. Etilena dan propilena tidak boleh digunakan
untuk bahan pangan yang mempunyai kadar air tinggi, karena kemungkinan dapat
membentuk racun.
Telur-telur
serangga dapat tertinggal di dalam makanan sebelum dan sesudah pengolahan,
misalnya di dalam tepung. Untuk menghancurkan telur-telur serangga tersebut
biasanya tepung dipusingkan di dalam sentrifuse, sehingga dengan
benturan-benturan yang keras dari dinding sentrifuse, telur-telur tersebut akan
pecah. Meskipun pecahan telur ini masih tetap tertinggal di dalam tepung,
tetapi tidak dapat memperbanyak diri lebih lanjut.
Parasit
yang lebih banyak ditemukan misalnya di dalam daging babi adalah cacing pita (Trichenella spiralis). Cacing pita tersebut masuk ke dalam
tubuh babi melalui sisa-sisa makanan yang mereka makan. Daging babi yang tidak dimasak dapat menjadi sumber kontaminasi
bagi manusia. Cacing-cacing dalam
bahan pangan mungkin dapat dimatikan dengan pembekuan.
Tikus
merupakan salah satu hewan pengerat dan merupakan persoalan yang penting di
Indonesia, khususnya merupakan ancaman yang berbahaya baik terhadap hasil
biji-bijian sebelum dipanen maupun terhadap bahan yang disimpan di dalam
gudang. Tikus bukan hanya merugikan karena makan bahan, tetapi juga karena
kotorannya, rambutnya atau air kencingnya dapat merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri dan dapat menimbulkan bau yang tidak enak.
D. KERUSAKAN
PANGAN oleh BAHAN KIMIA dan ENZIM
Enzim
yang ada pada bahan pangan dapat berasal dari mikroba atau memang sudah ada pada bahan pangan tersebut secara normal. Adanya
enzim memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimia dengan lebih cepat
tergantung dari macam enzim yang ada, dan dapat mengakibatkan bermacam-macam
perubahan pada komposisi bahan. Aktivitas enzim dapat dicegah atau dihentikan
sama sekali oleh panas, perlakuan kimia, radiasi atau perlakuan lainnya.
Dipandang dari segi teknologi
pangan, aktivitas enzima da yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Sebagai
contoh pada pembuatan sari buah, beberapa enzim misalnya pektinase dikehendaki
untuk menjernihkan sari buah seperti sari buah apel. Contoh
lain adalah penggunaan enzim papain (proteinase) untuk mengempukkan daging.
Keaktifan
maksimum dari enzim pada umumnya terletak di antara pH 4 – 8, atau di sekitar
pH 6. Tetapi meskipun demikian beberapa enzim misalnya pepsin masih menunjukkan
keaktifannya sampai pH 2, dan enzim fosfatase alkalis di dalam darah aktif
sampai pH 9. Jika makanan
disterilkan atau dipasteurisasi untuk mengaktifkan mikroba, maka enzim akan
sebagian atau seluruhnya rusak atau menjadi inaktif. Juga jika makanan
didinginkan dengan tujuan untuk mengurangi aktivitas mikroba, maka keaktifan
enzim-enzim di dalamnya juga akan terhambat.
Beberapa
enzim mungkin lebih tahan terhadap pemanasan atau radiasi mungkin efektif untuk
membunuh mikroba, tetapi enzim-enzim tertentu mungkin masih dapat aktif.
Enzim
|
Substrat
|
Hasil
Akhir
|
pH
Optimum ++)
|
Lipase
Fosfatase (lechithinase)
Invertase
Maltase
Selobiase
Laktase
Amilase
Selulase
Proteinase
(Bromelin,Papain,
Pepsin,Tripsin,rennin)
Peptidase
(Polipeptidase)
Urease
Asparaginase
Deaminase
|
Gliserida (lemak)
Lecithin
Sukrosa
Maltosa
Selobiosa
Laktosa
Pati
Selulosa
Protein
Protein
(Peptida)
Urea
Asparagin
Asam amino
|
Gliserol,
asam lemak
Choline,
H3PO4, lemak
Glukosa,
Fruktosa
Glukosa
Glukosa
Glukosa,
Galaktosa
Dekstrin,
Maltosa
Selobiosa,
Glukosa
Polipeptida,
Dipeptida
Asam
amino
CO2,
NH3
Asam
aspartat, NH3
NH3,
Asam organik
|
5,0 –
8,6
3,0 – 10,0
4,6 – 5,0
4,5 – 7,2
-
-
5,0 – 7,0
3,5
1,5 – 10,0
6,0 – 7,4
7,0
-
-
|
+)
POTTER (1968)
++) DESROSIER
(1963)
E.
KERUSAKAN PANGAN OLEH SUHU, KELEMBABAN dan UDARA
(Oksigen)
Pemanasan yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan protein (denaturasi), emulsi vitamin
dan lemak. Buah dan saturan tropika
Sangat sensitif terhadap pendinginan. Penyimpanan pada suhu rendah akan
menyebabkan kerusakan yang disebut chiling injury, misalnya pisang
ambon yang menjadi lunak dan warnanya berubah. Selain itu, juga menyebabkan
denaturasi dan pengumpalan protein susu.
Oksigen selain dapat merusak vitamin A dan C, warna bahan pangan, cita rasa
dan zat kandungan lain, juga penting untuk pertumbuhan kapang.
Pada umumnya kapang bersifat
aerobik, oleh karena itu sering ditemukan tumbuh di atas permukaan bahan
pangan. Oksigen udara dapat
dikurangi jumlahnya dengan cara mengisap udara keluar dari wadah secara vakum
atau menggantikan dengan gas “inert” selama pengolahan misalnya mengganti udara
dengan gas nitrogen (N2) atau CO2, atau dengan mengikat
molekul oksigen dengan pereaksi kimia. Pada
bahan pangan yang mengandung lemak adanya oksigen dapat menyebabkan ketengikan.
F. KERUSAKAN PANGAN oleh SEBAB - SEBAB MEKANIK/ FISIK
Perlakuan yang tidak tepat
selama penanganan, penyimpanan dan distribusi menyebabkan kerusakan fisik dan
memperpendek masa simpan bahan pangan. Memar yang terjadi pada buah dan sayur
segar mempercepat kebusukan. Buah dan sayur segar mengalami pengeringan
(penguapan air) jika disimpan pada kelembaban rendah sehingga hilang
kesegarannya. Bahan pangan kering seperti tepung, gula, garam, dsb menjadi
basah jika disimpan di tempat yang lembab. Daging yang disimpan beku dapat mengalami
dehidrasi pada permukaannya pada permukaannya
jira tidak dikemas dengan baik. Telur mengalami kehilangan berat selama
penyimpanan pada kelembaban rendah.
Usaha untuk mencegah atau
menghambat kerusakan fisik antara lain perlakuan dengan baik, penggunaan
kemasan yang rigid dan kuat, tidak permeable terhadap air, pengisian kemasan
dengan gas inert atau penyimpanan pada suhu dan kelembaban yang tepat.
G. PARAMETER
PENILAIAN KERUSAKAN BAHAN PANGAN
1.
Organoleptik
Ø
Perubahan
warna, aroma, rasa, dan tekstur.
2.
Kimiawi
Ø
Degradasi/
oksidasi/ hidrolisis komponen penyusun bahan makanan.
3.
Mikrobiologis
Ø
Kontaminasi
oleh mikroorganisme patogen
Ø
Pertumbuhan
mikroorganisme alami yang melebihi ambang batas
4.
Fisis
Ø
Perubahan
pH
H. TANDA-TANDA
KERUSAKAN PANGAN
Setiap bahan makanan yang
mengalami kerusakan, terutama kerusakan mikrobiologis akan memberikan
tanda-tanda yang khas menurut jenis bahannya. Meskipun demikian terdapat
tanda-tanda umum yang mencirikan perubahan komponen utama penyusun bahan.
Dengan demikian, bahan makanan yang tinggi kandungan proteinnya akan memiliki
tanda kerusakan yang berbeda dengan bahan makanan yang tinggi kandungan lemak
atau karbohidratnya.
1
Kerusakan
Bahan Makanan Berprotein Tinggi
à Bahan
makanan yang banyak mengandung protein apabila mengalami kerusakan
mikrobiologis akan menghasilkan bau busuk khas protein, yang dikenal sebagai
bau putrid, sehingga kerusakannya
sering disebut sebagai kerusakan putrefaktif
(Kuswanto, 1987).
à Mikrobia
yang paling berperan dalam menyebabkan kerusakan makanan berprotein adalah
bakteri. Bakteri-bakteri tersebut mampu memecah protein menjadi senyawa-senyawa
sederhana seperti cadaverin, putrescin, skatol, H2S, dan NH3, yang menyebabkan
bau busuk.
à Selain
bau busuk, makanan tinggi protein seperti daging, telur, susu dan ikan yang
rusak juga menunjukkan rasa tidak enak.
à Tanda
lainnya dapat berupa penggumpalan protein (khususnya pada susu), dan pencairan
jaringan protein sehingga bahan berair. Bahan biasanya juga mengalami kerusakan
struktur jeringan sehingga menjadi lembek.
2 Kerusakan
Bahan Makanan Berkarbohidrat Tinggi
à Bahan makanan berkarbohidrat tinggi dapat
mengalami perubahan kimiawi karena aktivitas yeast, bakteri maupun jamur. Dengan demikian, tanda-tanda kerusakannya ditentukan
pula oleh jenis mikroorganisme perusaknya.
à Yeast
dapat memfermentasi karbohidrat, terutama glucosa, menjadi alkohol. Dengan
demikian, bahan makanan berkarbohidrat tinggi yang dirusak yeast akan
menimbulkan bau dan rasa khas alcohol.
à Bakteri
dari jenis anaerob, seperti Lactobacillus
sp dapat membentuk asam laktat dan propionat dari bahan berkarbohidrat.
Sedangkan dalam kondisi aerob, beberapa bakteri mampu mengubah alcohol yang
dibentuk yeast, menjadi asam asetat. Dengan demikian, kerusakan bahan makanan
berkarbohidrat dapat pula diketahui dari terbentuknya rasa dan bau asam.
à Berbagai
jenis Namur dan bakteri yang mengkontaminasi bahan makanan berkarbohidrat
biasanya memproduksi enzim yang mampu memecah polisakarida menjadi karbohidrat
rantai pendek seperti monosakarida maupun disakarida. Hal ini secara fisik
dapat ditandai dari terjadinya pelunakan struktur bahan makanan berkarbohidrat
tinggi.
à Beberapa
bakteri juga mampu memproduksi karbohidrat khas, yang secara alami bukan
merupakan penyusun bahan makanan. Karbohidrat yang dihasilkan oleh bakteri ini
umumnya berupa levan atau dekstran, yang memiliki tekstur kental
seperti kanji. Dengan demikian, kerusakan bahan makanan berkarbohidrat dapat
diketahui oleh adanya pembentukan lendir.
3
Kerusakan
Bahan Makanan Berlemak Tinggi
à Lemak
dan minyak dapat mengalami pemecahan menjadi asam lemak dan gliserol.
Selanjutnya asam lemak, terutama asam lemak tak jenuh yang memiliki ikatan
rangkap, dapat mengalami pemecahan lebih lanjut menjadi senyawa sederhana
seperti aldehid dan keton dan senyawa lain yang menimbulkan bau tengik.
à Berbagi
jamur, yeast, dan bakteri diketahui mampu memecah lemak ini, dan dengan
demikian, berpotensi untuk menimbulkan ketengikan pada bahan makanan berlemak.
à Proses
terjadinya kerusakan makanan karena aktivitas mikrobia tersebut biasanya terjadi
secara simultan dan bersama-sama. Hal ini disebabkan karena dalam bahan makanan
biasanya sekaligus terkandung protein, karbohidrat, dan lemak. Oleh karena itu
tanda-tanda kerusakannya biasanya bermacam-macam.
Beberapa petunjuk yang dapat
digunakan untuk mengenali kerusakan berbagai bahan makanan, antara lain :
a.
Makanan
Kaleng
Tanda-tanda kerusakan makanan
kaleng antara lain adanya penggembungan pada bagian dasar dan atau tutup kaleng
karena terbentuknya gas di dalam kaleng, penyok pada bagian sepanjang sambungan
kaleng, penyimpangan bau, terbentuk buih, atau cairan pengisi kaleng menjadi
kental.
b.
Ikan
Ikan yang rusak biasanya
ditandai dengan adanya penyimpangan bau, berupa timbulnya bau asam ataupun bau
busuk, insang berwarna abu-abu atau kehijauan, mata tenggelam, dagingnya mudah
dilepaskan dari tulang, serta jika ditekan dengan jari akan meninggalkan bekas.
c.
Daging
Kerusakan daging ditandai
terbentuknya bau asing yang bukan khas daging, terbentuknya lendir, dan
terkadang terjadi perubahan warna menjadi kehijauan.
d.
Ayam
Daging ayam yang rusak dapat
dilihat dari perubahan yang terjadi pada bagian tertentu dari karkas ayam.
Tanda tersebut antara lain lengket pada bagia bawah sayap, pada pertautan
antara kaki dan tubuh, serta bagian atas ekor. Tanda lain adalah terbentuknya
warna gelap pada bagian ujung sayap.
e.
Susu
Kerusakan susu ditandai dengan
terciumnya bau dan rasa asam karena aktivitas bakteri pembentuk asam laktat,
terbentuk lendir, yaitu jika susu disentuh dengan jari dan kemudian diangkat
akan tampak seperti benang. Tanda kerusakan lainnya adalah terbentuknya bau
tengik, bau ragi, pahit, busuk, dan terkadang terjadi perubahan warna menjadi
kemerahan.
f.
Udang
Mentah
Udang telah hilang kesegarannya
dan menjadi rusak apabila pada daerah dekat ekor berwarna merah mudah (pink),
dan muncul bau asing menyerupai amonia.
I.
PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP MUTU GIZI PANGAN
Karbohidrat
Anti-amilase adalah suatu
protein yang terdapat di dalam kacang-kacangan, yang mempunyai kemampuan untuk
menghambat aktivitas enzim amilase untuk menghidrolisis pati menjadi glukosa.
Pengolahan pangan dengan menggunakan panas, misalnya perebusan atau pengukusan
kacang-kacangan dapat mendenaturasi protein termasuk anti-amilase tersebut
sehingga daya cerna pati meningkat. Tanin atau senyawa polifenol lain dapat
juga menghambat aktivitas enzim amilase. Itulah sebabnya daya cerna pati sagu
(yang banyak mengandung tanin) lebih rendah dibandingkan dengan pati tapioka.
Tanin tidak dapat dihancurkan dengan pemanasan, tetapi karena bersifat larut air
maka pengurangan kadar tanin dapat dilakukan dengan melakukan pencucian secara
berulang-ulang.
Proses pemanasan juga
menyebabkan pati tergelatinasi, yaitu molekulnya menjadi pengembang dan
kemudian menyerap air. Pati yang sudah tergelatinasi daya cerna lebih tinggi
dibandingkan dengan pati aslinya. Sebagai contoh, daya cerna pati beras lebih
rendah dibandingkan dengan pati yang terdapat dalam nasi.
Kecenderungan sekarang dalam
pengolahan pati (gabah) menjadi beras atau gandum menjadi terigu, adalah diinginkan
produk jadinya berwarna putih bersih. Meskipun secara organoleptik hal ini
menguntungkan, tetapi dari segi gizi hal ini merugikan. Proses penyosohan yang
berlebihan pada kedua bahan pangan tersebut menyebabkan banyak serat, vitamin
dan mineral menjadi terbuang. Sebagai ilustrasi, sesungguhnya nilai gizi beras
putih (beras sosoh) lebih rendah dibandingkan dengan beras pecah putih (beras
PK), akan tetapi karena faktor organoleptik dalam hal ini lebih dipentingkan,
maka nilai gizi bahan menjadi diabaikan.
Sejak diketahui bahwa serat
pangan memberikan keuntungan dalam pencegahan timbulnya berbagai penyakit, maka
orang berlomba untuk mengkonsumsi lebih banyak serat. Contoh (sekarang menjadi
mode) adalah dijualnya tablet atau kapsul serta pembuatan roti atau biskuit whole wheat dari tepung terigu yang
disuplementasi dengan dadak gandum.
Protein
Selama pengolahan, protein yang
terkandung dalam bahan pangan akan mengalami berbagai macam perlakuan. Misalnya
perlakuan fisik, contohnya penghancuran dan pemanasan, perlakuan kimia,
penggunaan pelarut organik (untuk ekstrak lemak), bahan pengoksidasi (hidrogen
peroksida), alkali (NaOH, untuk ekstraksi protein atau perbaikan sifat
fungsional protein), belerang dioksida (anti-browning, pengawet), atau
mengalami perlakuan biologis, misalnya hidrolisis secara enzimatis (hidrolisat
protein) atau proses fermentasi (tempe kedelai, keju). Meskipun demikian, yang
paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan panas, misalnya
pemaskan, sterilisasi komersial (pengalengan), pengeringan atau pemanggangan
dan pembakaran.
Raksi-reaksi yang mungkin
timbul selama pengolahan, terjadi antara protein dengan zat-zat gizi lain
(karbohidrat, lemak, vitamin, mineral) atau dengan bahan tambahan (food addivites). Rekasi-reaksi tersebut
umumnya menguntungkan secara organoleptik, misalnya karena aroma yang timbul,
terjadinya perubahan warna, atau karena cita rasa yang lebih enak. Akan tetapi
tidak jarang yang terjadi adalah reaksi-reaksi yang merugikan ditinjau dari
segi gizi, misalnya mengakibatkan daya cerna protein menurun, atau ketersediaan
asam-asam amino esensial menjadi rendah, bahkan kadang-kadang hasil reaksi
tersebut berupa senyawa yang bersifat toksik atau menimbulkan pengaruh
fisiologis yang merugikan bagi tubuh.
Protein adalah komponen pangan
yang sangat kratif. Sisi rantai yang berupa asam-asam amino yang terikat dalam
protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi (reaksi browning non-enzimatis), polifenol (tannin), senyawa hasil oksidasi
lemak, serta kadang-kadang dengan bahan yang ditambahkan, misalnya alkali yang
dapat menyebabkan terjadinya raseminasi asam amino dan terbentuknya
lisinolalanin.
Lisin, triptopfan, metionin dan
sistein adalah asam-asam amino yang paling reaktif dalam rantai protein.
Padahal asam-asam amino tersebut tergolong esensial (setengah esencial bagi
sistein), dan seringkali merupakan asam amino pembatas (kadarnya paling rendah
dibandingkan dengan protein estándar/referensi). Selama pengolahan, asam-asam
amino tersebut bereaksi dengan senyawa-senyawa lain membentuk senyawa kompleks
kovalen, atau dalam hal triptofan, metionin dan sistein, asam-asam amino
tersebut dapat juga mengalami kerusakan karena teroksidasi.
Modifikasi sifat-sifat kimia
protein bahan pangan akan mengakibatkan perubahan nilai gizinya, misalnya
menurunnya daya cerna protein atau menurunnya ketersediaan asam-asam amino
esencial. Prodek hasil interaksi asam-asam amino kadang-kadang juga menimbulkan
pengaruh fisiologis yang merugikan bagi tubuh.
Pengolahan protein dengan
alkali juga dapat menyebabkan terbentuknya lisinolalanin. Lisinolalanin adalah
senyawa yang terdiri dari residu lisin yang grup épsilon aminonya terikat pada
grup metil residu alanin, yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara sistein
atau seri dengan lisin. Bila residu tersebut terdapat dalam rantai protein,
maka akan terbentuk ikatan menyilang intra-molekuler atau antar molekuler
protein. Lisinolalanin bukan merupakan dipeptida, karena tidak mempunyai ikatan
péptida dan juga bila dihidrolisis dengan asam tidak menghasilkan dua asam
amino. Terdapat empat stereo-isomer lisinolalanin yang mungkin terjadi, yaitu :
LL, LD, DL dan DD.
Lemak yang teroksidasi akan
menghasilkan radikal-radikal bebas (terutama berasal dari asam lemak tidak
jenuh), yang kemudian membentuk senyawa karbonil atau hidroperoksida. Kedua
macam senyawa tersebut dapat bereaksi dengan protein membentuk ikatan menyilang
(cross linkage) dalam rantai protein,
melalui ikatan protein-lipid. Penurunan nilai gizi protein akibat reaksi
tersebut dapat terjadi karena penurunan daya cerna protein dan kerusakan pada
asam-asam amino esensial.
Lemak
Lemak atau minyak dapat
mengalami kerusakan akibat reaksi: a) hidrolisis,
yaitu pelepasan asam-asam lemak dari molekul lemak yang dapat diakibatkan oleh
air atr, asam atau enzim lipase, sehingga akan mengakibatkan terjadinya ketengikan hidrilitik, 2) oksidasi, yaitu terpecahnya asam-asam
lemak tidak jenuh oleh oksiden atau sinar ultra violet, sehingga akan
mengakibatkan terjadinya ketengikan
oksidatif, 3) polimerisasi,
yaitu pelepasan asam-asam lemak dari molekul lemak, yang diikuti oleh
bergabungnya asam-asam lemak tersebut (berpolimerasi) membentuk rantai yang
lebih kompleks. Polimerisasi minyak/lemak dapat terjadi pada proses pemanasan
lemak/minyak pada suhu tinggi dan jangka waktu yang lama, misalnya pada proses
penggorengan. Semua kerusakan tersebut akan menurunkan nilai gizi lemak/minyak.
Baik oleh daya cernanya yang menurun atau karena ketersediaan asam-asam lemak
(esensial) yang berkurang atau akibat keduanya.
Ketengikan hidrolitik dapat dicegah dengan cara inaktivasi enzim lipase
(misalnya dengan pemanasan) dan mengurangi kadar air bahan (misalnya dengan
cara pengeringan) serta mencegah masuknya kembali uap air ke dalam bahan pangan
yang telah kering (misalnya dengan pengemasan yang tertutup rapat). Ketengikan oksidatif dapat dicegah
dengan mengurangi kontak antar bahan dengan oksigen (misalnya dengan pengemasan
hampa udara) serat menghindarkan bahan dari tekanan sinar matahari atau sumber
sinar ultra violet lainnya (misalnya selama dipajang di etalase). Polimerisasi lemak/minyak selama
pemanasan pada suhu tinggi (proses penggorengan) dapat dicegah dengan mengatur
suhu dan lama penggorengan serta jumlah dan interval penambahan minyak yang
baru. Penggorengan minyak yang telah rusak (tengik) untuk menggoreng, ternyata
dapat menurunkan nilai gizi protein.
Minyak/lemak adalah juga
pelarut bagi vitamin-vitamin larut lemak (A,D,E, dan K), termasuk pro vitamin A
(karoten). Oksidasi oleh oksigen maupun akibat pemanasan (misalnya penggorengan)
akan merusak vitamin A, vitamin E, dan karoten. Umumnya margarin diperkaya
(disuplementasi) dengan vitamin A atau beta-karoten untuk meningkatkan nilai
gizinya. Akan tetapi penanganan margarin yang tidak benar (misalnya adanya
kontak dengan oksigen, terkena sinar matahari) akan merusak vitamin A dan
beta-karoten tersebut.
Vitamin Dan Mineral
Dalam pengolahan pangan,
kerusakan vitamin dapat terjadi akibat pengaruh pH, oksigen, pemanasan atau
karena terkena cahaya.
Proses pasteurisasi HTST (high temperature short time) terhadap
susu lebih dapat mempertahankan kandungan thiamin, vitamin C dan vitamin B12
dibandingkan dengan proses pasteurisasi konvensional (holding method). Demikian juga proses sterilisasi UHT (ultra high
temperature) lebih dapat mempertahankan kadar vitamin dalam susu dibandingkan
dengan proses sterilisasi susu dalam botol. Hal ini penting diperhatikan dalam
mempersiapkan produk olahan susu bagi bayi atau anak kecil.
Dalam proses pengalengan
makanan ternyata bahwa jumlah vitamin yang hilang selama keseluruhan proses
cukup tinggi, yaitu berkisar antara 0-91%. Dalam hal ini, proses sterilisasi HTST (high temperature short time) lebih dapat
mempertahankan vitamin dibandingkan dengan metode LTLT (low temperatura long time). Disamping itu, médium asam (pH rendah)
lebih dapat mempertahankan vitamin dibandingkan dengan médium alkalis.
Mineral umumnya tidak mengalami
kerusakan selama pengolahan pangan, yang mungkin terjadi adalah pengurangan
kadarnya atau penurunan ketersediaannya. Penurunan kadar mineral biasanya
terjadi akibat pelarutan (leaching),
misalnya pada proses blanching
sayuran atau buah-buahan sebelum dikalengkan, dibekukan atau dikeringkan. Hal
ini sedikit dapat dicegah dengan cara melakukan blanching menggunakan uap air. Selain itu, pelarutan mineral dapat
juga terjadi selama proses perebusan.
Penurunan ketersediaan mineral
dapat terjadi karena terbentuknya ikatan antara mineral dengan senyawa lain,
misalnya protein, tannin, asam fitat, asam oksalat dan lain-lain. Proses kedelai
ditemukan dapat mengikat mineral (zat besi), sehingga dapat menurunkan
ketersediaannya. Tannin dan asam oksalat banyak terdapat dalam bahan pangan
nabati. Tannin merupakan senyawa yang stabil selama pengolahan, tetapi bersifat
larut dalam air, sehingga kadarnya sedikit dapat dikurangi dengan proses
pencucian. Asam oksalat hanya dapat dilarutkan dalam larutan asam, sehingga
menurunkan kadarnya hanya dapat dilakukan dengan cara perendaman atau pencucian
bahan pangan dalam larutan asam.
Proses fermentasi, misalnya
pada pembuatan roti atau tempe dapat menurunkan kadar asam fitat, karena
mikroba yang berperan dalam proses fermentasi tersebut dapat menghasilkan enzim
fitase.
-SEKIAN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar